1.
Pengaturan
Anti Dumping Dalam Perdagangan Internasional
1.
1.
Landasan Hukum Antidumping Dalam Tata Hukum Indonesia
Untuk dapat melaksanakan tindakan
antidumping, Indonesia telah mempunyai perangkat hukum anti dumping, baik
berupa peraturan peraturan peundang-undangan maupun Komite Antidumping.
Beberapa peraturan yang mengatur tentang anti dumping dapat dilihat pada bagan
berikut ini:
- 2. Pengertian Dumping dan Anti Dumping
Istilah
Dumping merupakan istilah yang dipergunakan dalam perdagangan
internasional adalah praktik dagang yang dilakukan oleh eksporter dengan
menjual komodity di pasar Internasional dengan harga kurang dari nilai yang
wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di negerinya sendiri, atau
dari harga jual kepada negara lain pada umumnya. Praktik ini dinilai tidak adil
karena dapat merusak pasaran dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor
(AF. Erawati dan JS. Badudu, 1996:37). Sedangkan yang dimaksud dengan ”Anti
dumping” adalah sanksi balasan yang berupa bea masuk tambahan yang
dikenakan atas suatu produk yang dijual di bawah harga normal dari produk yang
sama di negara pengekspor maupun pengimpor.
Menurut Black,s Law Dictionary,
pengertian dumping adalah:
“The
act of selling in quantity at very low price or practically regardless of the
price; also, selling goods abroad at less than the market price at home”
(Henry Campbell, 1998: 347).
Dari
definisi tersebut di atas menunjukkan bahwa pengertian dumping, sering
diekspresikan sebagai perbuatan curang karena penjualan produk-produk untuk
ekspor pada harga yang lebih rendah dari nilai normal.
Selanjutnya
dalam Uruguay Round memberikan pengertian dumping yang baru, sebagai
penyempurnaan dalam Artikel VI GATT 1994 yang dituangkan dalam Artikel 2,
mengenai “Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VI GATT 1994” sebagai berikut:
“
For purposes of this agreement, a product is to be considered as being dumped,
i.e. introduced into the commerce of another country at less that its normal
value, if the export price of the product exported from one country to another
is less then the comparable price, in the ordinary course of trade, for the
like product when destined for consumption in the exporting country”.
Adapun
suatu barang/produk yang masuk secara dumping disebut ”barang dumping”, hal ini
diatur dalam Pasal 1 ayat (1) PP.34 Tahun 1994 tentang Bea Masuk Anti Dumping
dan Bea Masuk Imbalan, bahwa barang dumping adalah barang yang diimpor dengan
tingkat Harga Ekspor yang lebih rendah dari Nilai Normalnya di negara
pengekspor.
Berdasarkan
pengertian di atas maka dapat dikatakan bahwa Dumping adalah suatu
kegiatan yang dilakukan oleh produsen atau eksporter yang melaksanakan
penjualan barang/komoditi di luar negeri atau negara lain (Negara pengimpor)
dengan harga yang lebih rendah dari harga normal barang sejenis baik di dalam
negeri pengekspor (eksporter) maupun di negara pengimpor (importer), sehingga
mengakibatkan kerugian bagi negara pengimpor.
- 3. Kriteria dan Jenis Dumping
Menurut Pasal VI GATT 1994 bahwa
kriterian dumping dapat dirinci sebagai berikut:
- Penentuan Dumping (the Determination of Dumping).
Penentuan dumping yang diatur dalam
Bab I menyatakan bahwa, suatu produk dianggap sebagai dumping apabila dalam perdagangan
antar negara, produk tersebut dijual di bawah nilai normal yaitu (Sukarmi,
2002: 27):
1)
Harga dari produk serupa (like product) di pasar dalam negeri negara
peng-ekspor. Dalam hal ini harga pembanding (comparable price) harus
dilakukan berdasarkan perhitungan ex factory price (harga di luar
pabrik) dari penjualan dalam negeri dengan perhitungan ex factory price
dari penjualan ekspor.
2)
Bilamana tidak ada harga dalam negeri pengimpor yang dapat dibanding-kan di
negara pengekspor, maka harga normal adalah ex factory price yang
berasal dari perhitungan harga produk sejenis di negara tersebut yang diekspor
ke negara ke tiga.
3)
Ongkos produksi di negara asal di tambah biaya administrasi, biaya pemasaran,
dan keuntungan normal adalah dengan menggunakan definisi nomor 1 a, namun
bilaman penjualan dalam negeri di negara pengekspor sangat kecil (jarang) atau
harga dalam negeri tidak relevan, misalnya produk tersebut di jual oleh
perusahaan negara di negara yang menganut non market economy dapat menggunakan
definisi 1 b atau 1
- Menimbulkan Kerugian (injury) di dalam Negeri Negara Pengimpor
Penentuan
Kerugian dalam Pasal VI GATT 1994 didasarkan pada bukti-bukti positif dan
melibatkan pengujian objektif mengenai (H.A.S. Natabaya, 1996: 24)
1)
Volume produk impor harga dumping dan dampaknya terhadap harga-harga pasar
dalam negeri untuk produk sejenis dan
2)
Dampak impor itu terhadap produsen dalam negeri yang menghasilkan produk
sejenis.
- Adanya hubungan kausal (causal link).
Hubungan
kausal antara praktik dumping yang dilakukan dengan akibat kerugian (injury)
yang terjadi. Adanya praktik duping dalam Impor harus dibuktikan sebagai
penyebab terjadingan kerugian. Hubungan sebab akibat antara impor dumping
dengan kerugian industri dalam negeri negara pengimpor harus didasarkan pada
pengujian semua bukti adanya indikasi dumping.
Pengujian
dampak produk impor dengan harga dumping pada industri dalam negeri negara
pengimpor akan mencakup penilaian terhadap semua faktor ekonomi seperti:
penurunan penjualan potensial dan aktual, laba, out put, pangsa pasar
produktivitas, pengembangan investasi atau pemakaian kapasitas; faktor-faktor
yang mempengaruhi harga dalam negeri; besarnya selisih dumping; pengaruh
negatif pada cash flow potensial dan aktual persediaan tenaga kerja,
upah, pertumbuhan, kemampuan meningkatkan modal atau investas.
Berdasarkan
pengertian di atas maka dumping dapat diketegorikan menjadi tiga kriteria/unsur
sebagai berikut:
- Produk dari suatu negara yang diperdagangkan oleh negara lain dijual dengan harga yang lebih rendah harga normal (less than normal value)atau disebut dengan “less than fair value” (LTFV).
- Akibat dari diskriminasi harga tersebut yang menimbulkan kerugian material terhadap industri telah berdiri atau menjadi halangan terhadap pendirian industri dalam negeri.
- Adanya hubungan kausal antara penjual barang impor yang LTFV dgn kerugian yang diderita oleh negara pengimpor (Hub. 1 & 2).
Menurut
Kindleberger dalam H.A.S. Natabaya, apabila dilihat dari segi dampak bagi
konsumen dan industri dalam negeri importer, ada dua jenis dumping yaitu
(H.A.S. Natabaya, 1996: 9) :
- Dumping yang bersifat perampasan (predatory dumping) yaitu apabila perusahan melakukan diskriminasi dan menguntungkan pembeli untuk sementara waktu dengan tujuan untuk menghilangkan saingan, setelah saingan tersingkir maka harga dinaikkan kembali. Bentuk dumping ini merugikan produk industri dalam negeri negara pengimpor.
- Persistent dumping adalah damping yang terjadi secara terus menerus. Bentuk dumping ini pada dasarnya hanya akan menguntungkan konsumen negara importer, karena persaingan tersebut hanya terjadi antara sesama produk impor.
- 4. Penentuan Bea Masuk Anti Dumping
Untuk
menentukan bea masuk anti dumping diatur dalam Pasal 19 (1) UU Kepabeanan No.10
Tahun 1995 yang menyatakan bahwa Bea Masuk Antidumping yang dikenakan terhadap
barang impor adalah setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal
dengan harga ekspor dari barang tersebut. Bea Masuk Antidumping tersebut
merupakan tambahan dari Bea Masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1),
yakni bea tambahan dari tariff impor (bea masuk) berdasarkan tarif
setinggi-tingginya 40 % (empat puluh persen) dari nilai pabean.
Berdasarkan
ketentuan di atas bahwa BMAD adalah bea masuk yang dijatuhkan terhadap produk-produk
yang diekspor secara dumping dan countervailing duties
atau bea masuk untuk barang-barang yang terbukti telah diekspor dengan harga
yang lebih rendah dari harga normal (less than fair value / LTFV. Nilai
normal dalam arti harga untuk produk yang sama dengan produk yang dijual di
negara sendiri atau di pasar pengekspor.
Selanjutnya
yang dimaksud dengan nilai normal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) PP
No. 34 tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan adalah harga yang
sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan
pada umumnya di Pasar Domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi.
Untuk
menghitung harga norma (normal value) berbagai negara menganut
bermacam-macam cara. Namum penafsiran yang umum dalam ketentuan Pasal VI GATT ,
menggunakan cara perhitungan harga normal berdasarkan “biaya produksi (cost
of production) ditambah keuntungan (profit) dan dibagi dgn seluruh
jumlah produksi (total of production).
Biaya
produksi sekurang-kurang terdiri dari:
- Biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku,
- Biaya fabrikasi termasuk upah buruh dan,
- Segala biaya yang dikeluarkan utk melaksanaan penjualan (General Sales Administration / GSA).
Negara
yang dirugikan dengan adanya dumping dapat mengenakan bea tambahan/bea masuk
anti dumping pada barang-barang yang terkena dumping sebesar ”margin dumping”.
Contoh margin dumping: misalnya suatu negara peng-impor mengenakan harga LTFV
sebesar 100 dolar untuk tiap-tiap produk arloji, dan harga normal dalam persaingan
pasar dari barang arloji tsb adalah 120 dolar per buah, maka “margin of
dumping” adalah 20 dolar. Dengan adanya kelebihan harga 20 dolar dari harga
LTFV, maka negara yang dirugikan hanya diperkenankan untuk menggunakan anti
dumping sebesar harga tersebut (20 dolar).
- B. Perlindungan Hukum Terhadap Industri Dalam Negeri dari Praktik Dumping.
- 1. Penegakan Hukum Terhadap Produk Impor yang berindikasi Dumping
Untuk
melindungi Produk dalam negeri terhadap Produk dumping, Pemerintah melalui
Deparemen Perundustrian dan Perdagangan, serta Komisi Anti Dumping Indonesia
(KADI) telah melakukan beberapa upaya penegakan hukum baik secara preventif
maupun represif.
- Upaya Preventif: adalah merupakan upaya pencegahan terhadap pelanggaran penjual barang atau produk impor di dalam negeri sehingga merugikan industri domestik yang memproduksi produk sejenis. Upaya pencegahan tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain:
1)
Melakukan sosialisasi, pendidikan dan traning kepada para pelaku ekonomi
(ekporter dan importer) tentang regulasi dan kebijakan ekspor-impor, baik
terkait dengan upaya peningkatan kualitas produk industri dalam negeri maupun
dalam mengantisipasi terhadap produk impor yang berindikasi menimbulkan
kerugian terhadap produk industri domestik, sehingga diharapkan produk industri
dalam negeri akan mampu bersaing di pasar bebas, baik domestik maupun
internasional.
2)
Melakukan pembinaan terhadap para aparatur pada lembaga-lembaga yang terkait
dengan penyelesaian masalah perdagangan dan dumping.
3)
Melakukan pengakajian terhadap mekanisme perizinan impor barang yang
berindikasi menimpulkan kerugian terhadap industri sejenis di dalam negeri.
- Upaya Represif: adalah pengenaan sanksi balasan berupa pengenaan bea masuk tambahan yang disebut dgn “bea masuk anti dumping (BMAD)” sebagaimana dinyatakan dalam Pasal IV ayat (2) GATT bahwa ”Negara dapat menjatuhkan sanksi balasan apabila negara pengekspor terbukti melakukan penjualan produk dibawah harga normal (dumping) sehingga merugikan negara pengimpor”.
Untuk
menindak lanjuti ketentuan GATT tersebut, selanjutnya Pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Kepabeanan No.10 Tahun 1995. Dalam Pasal 18 dinyatakan bahwa Bea
Masuk Antidumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal:
- harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya, dan
- impor barang tersebut:
- menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut;
- mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; atau
- menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.
Bea
Masuk Antidumping yang dikenakan terhadap barang impor tersebut adalah bea
setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari
barang tersebutsebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 (1) dan pasal 19 UU
Kepabeanan No. 10 Tahun 1995 di atas.
- C. Kebijakan Indonesia dalam menghadapi praktik dumping dan tuduhan dumping.
Indonesia
sebagai salah satu negara yang selalu ikut serta dalam kegiatan perdagangan
internasional seringkali menerima tuduhan sebagai pelaku dumping dari negara
pengimpor produk Indonesia. Selain itu Indonesia juga dapat berada pada pihak
yang melakukan tuduhan dumping terhadap produk impor untuk memberikan
perlindungan terhadap industri dalam negeri dari praktik dumping. Akhir-akhir
ini banyak produk impor dari negera tertentu yang masuk ke Indonesia dan dijual
dengan harga yang tidak wajar. Jika hal itu berlangsung terus menerus dapat
merugikan atau mengganggu perkembangan industri dalam negeri. Perangkat hukum
yang ada yang dijadikan pedoman dalam melakukan tuduhan dan pembelan terhadap
praktik dumping serta pengenaan bea masuk masih berupa Peraturan Pemerintah
yaitu PP No. 34 Tahun 1996 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang selanjutnya diubah dengan UU No. 17 Tahun
2006.
Dalam
mengantisipasi praktik dumping, peraturan perundang undangan nasional yang dipersiapkan
yang mengacu kepada ketentuan GATT-WTO hendaknya berupa undang-undang. Harus
disadari bahwa keberadaan perangkat hukum nasional dalam mengantisiasi masalah
dumping memang masih lemah, baik sebagai instrumen guna melakukan perlindungan
produk dalam negeri dari praktik dumping oleh negara lain, maupun sebagai
instrumen hukum guna mengahdapi tuduhan dumping di luar negeri.
Kelemahan
dari perangkat hukum antidumping dapat dilihat dalam PP. 34 Tahun 1995, terkait
dengan pengertian harga normal. Salah satu unsur terjadinya praktik dumping
apabila harga yang ditawarkan di pasar negara pengimpor lebih rendah jika
dibandingkan dengan harga normal (norma value) di dalam negeri
pengimpor. Dalam PP. 34 Tahun 1996, Pasal 1 butir 3, yang dimaksud dengan harga
norma adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang
sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor
untuk tujuan konsumsi.
Menurut
Sukarmi (Sukarmi, 2002: 18), dalam pasal ini tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana
kalau harga normal tidak didapatkan karena mungkin ada produsen dalam negeri
yang menghkususkan produk yang sejenis tersebut hanya dapat memenuhi pasar luar
negeri atau untuk konsumsi ekspor, apakah ada penetapan pedoman harga yang lain
yang dapat dijadikan sebagai penganti harga normal
Selanjutnya
dalam Pasal 1 butir 11 dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian adalah
sebagai berikut:
- Kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis:
- Ancaman terjadinya kerugian industri dalam negeri yang produksi barang sejenis
- Terhalangnya pengembangan industri dalam negeri.
Tidak
adanya penjelasan lebih lanjut tentang ketiga hal ini dalam pelaksanaannya
dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dalam dunia usaha, Di antaranya
sebagai bentuk kerugian yang dimaksud, kapankah impor barang sejenis dianggap
sebagai suatu ancaman bagi industri domestik yang berakibat terhalangnya
pengembangan industri domestik dan hal lainnya.
Sehubungan
dengan tidak adanya kejelasan tentang pengertian ”harga normal’ dan ”kerugian”
dalam PP. No.34 tahun 1996, menurut Paul B. Stephan dalam Sukarmi, diperlukan
kejelian dalam penerapan dan penafsiran ketentuan antidumping dalam GATT-WTO ke
dalam peraturan nasional. Dengan adannya Undang-Undang Anti-dumping, pemerintah
dapat mengambil tindakan terhadap barang-barang impor yang dijual lebih murah
dari negara asalnya, atau negara ketiga atau lebih murah dari perhitungan
ongkos produksi dan trasportasi di tambah keuntungan normal yang merugikan
produsen dalam negeri. (Sukarmi, 2002: 19).
Sebagai
akibat dari masih lemahnya perangkat hukum tentang antidumping sebagaimana
dijelaskan di atas, menimbulkan kesulitan baik terhadap upaya perlindungan
hukum bagi produk ekspor Indonesia dari tuduhan dumping di luar negeri, maupun
terhadap upaya perlindungan hukum bagi produk domestik dari praktik dumping di
dalam negeri.
- 1. Upaya Mengantisipasi Praktik Dumping
Dengan
dikeluarkannya PP No. 34 tahun 1996 tentang bea masuk antidumping dan bea masuk
imbalan dan di bentuknya KADI, pemerintah Indonesia dapat mengenakan bea masuk
anti dumping kepada barang-barang impor yang terbukti di pasarkasn dengan harga
dumping. Beberapa pokok pikiran yang terkandung dalam PP No. 34 Tahun 1996
sebagai berikut.
Berdasarkan
pasal 2 PP No. 34 tahun 1996 tersebut, dengan adanya pengaduan dari produsen
dalam negeri barang-barang impor untuk selanjutnya KADI akan melakukan
penyelidikan lebih lanjut. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan serta bukti
yang di ajukan, KADI memberikan keputusan menolak atau menerima dan memulai
penyelidikan. Selanjutynya pada pasal 9 PP No. 34 Tahun 1996 menegaskan
penyelidikan terhadap suatu barang yang diduga barang dumping yangyang di
lakukan KADI dapat melakukan nila ada atau tanpa permohonan dari produsen dalam
negeri.
Bagi
industri domestik pengaturan ketentuan anti dumping seperti apa yang telah
diuraikan di atas sangatlah penting. Dengan demikian, produsen dalam negeri
dapat menempuh prosedur-prosedur yang telah di nyatakan oleh PP No. 34 tahun
1996 apabila mereka merasa terancam atau menderita kerugian akibat dari impor
barang dengan harga dumping.
Berdasarkan
kebijaksanaandan tersebut di atas, maka untuk melakukan tuduhan dumping harus
betul-betul mempunyai bukti yang kuat dan telah memenuhi syarat-syarat yang
telah di tentukan oleh WTO. Untuk dapat kenakan bea masuk anti dumping memenuhi
syarat yaitu: adanya harga produk yang sama di jual lebih murah di bawah harga
domestik negara asal barang, harga itu menyebabkan kerugian, dan adanya
causal link antara harga dumping dengan kerugian yang timbul.
- 2. Upaya Indonesia Menghadapi Tuduhan Dumping
Tuduhan
dumping terhadap produk ekspor Indonesia di luar negeri telah terjadi sejak
tahun 1980 terutama terhadap produk manufactur sebagai komoditi baru dalam
kegiatan ekspor. Tuduhan tersebut telah berlangsung sejak tahun hingga saat
ini, terutama dari negara-negara antara lain, Australia, Amerika dan Masyarakat
Ekonomi Erope (MEE), sehingga hal ini merupakan salah satu ancaman bagi produk
Indonesia untuk bersaing di pasar internasional.
Perusahaan
domestik Indonesia yang terkena tuduhan dumping akan menanggung akibat yang
serius, miskipun tuduhan tersebut tidak benar karena karena tidak didukung oleh
bukti. Sebagai akibat dari tuduhan tersebut perusahaan Indonesia akan
menanggung risiko menderita kerugian yang cukup besar karena diharuskan
membayar pajak (bea antidumping) yang dibebankan kepada produk ekspor Indonesia
sesuai dengan margin dumping yang ditentukan oleh negara pengimpor.
Salah
satu kasus tuduhan dumping terhadap Indonesia Indonesia adalah tuduhan praktek
dumping pada produk kertas yang diekspor ke Korea Selatan tahun 2002. Kasus ini
bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping
terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC)
pada 30 September 2002. Adapun produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan
dumping mencakup 16 jenis produk, tergolong dalam kelompok uncoated paper
and paper board used for writing, printing, or other graphic purpose serta
carbon paper, self copy paper and other copying atau transfer paper.
Dalam
kasus dumping kertas yang dituduhkan oleh Korea Selatan terhadap Indonesia pada
perusahaan eksportir produk kertas diantaranya PT. Indah Kiat Pulp and Paper
Tbk, PT. Pindo Deli Pulp and Mills, dan PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk,
serta April Pine Paper Trading Pte. Ltd. Dalam kasus ini Indonesia berhasil memenangkan
sengketa anti-dumping ini. Indonesia telah menggunakan haknya dan kemanfaatan
dari mekanisme dan prinsip-prinsip multilateralisme sistem perdagangan WTO
terutama prinsip transparansi.
Untuk
menanggapi tuduhan tersebut, Indonesia membawa kasusnya ke Dispute
Settlement Mechanism (DSM). Indonesia mengajukan keberatan atas
pemberlakuan kebijakan antidumping Korea Selatan ke DSM dalam kasus
Anti-Dumping Duties on Imports of Certain Paper from Indonesia. Saat itu
Indonesia pertama kali memperoleh manfaat penyelesaian sengketa dari DSM
sebagai pihak penggugat utama (main complainant) yang merasa dirugikan
atas penerapan peraturan perdagangan yang diterapkan oleh negara anggota WTO
lain.
Selanjutnya
pada tanggal 4 Juni 2004, Indonesia membawa Korea Selatan untuk melakukan
konsultasi penyelesaian sengketa atas pengenaan tindakan anti-dumping Korea
Selatan terhadap impor produk kertas asal Indonesia. Hasil konsultasi tersebut
tidak membuahkan hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Indonesia kemudian
mengajukan permintaan ke Dispute Settlement Board (DSB) WTO agar Korea
Selatan mencabut tindakan anti-dumpingnya yang melanggar kewajibannya di WTO
dan menyalahi beberapa pasal dalam ketentuan anti-dumping.
Pada
tanggal 28 Oktober 2005, DSB – WTO menyampaikan Panel Report ke seluruh anggota
dan menyatakan bahwa tindakan anti-dumping Korea Selatan tidak konsisten dan
telah menyalahi ketentuan Persetujuan Anti-Dumping. Kedua belah pihak yang
bersengketa pada akhirnya mencapai kesepakatan bahwa Korea harus
mengimplementasikan rekomendasi DSB dan menentukan jadwal waktu bagi
pelaksanaan rekomendasi DSB tersebut (reasonable period of time/RPT).
Namun sangat disayangkan hingga saat ini Korea Selatan belum juga mematuhi
keputusan DSB, meskipun telah dinyatakan salah menerapkan bea masuk
anti-dumping (BMAD) terhadap produk kertas dari Indonesia, karena belum juga
mencabut pengenaan bea masuk anti-dumping tersebut. DSB WTO telah menyatakan
Korea Selatan melakukan kesalahan prosedur dalam penyelidikan antidumping
kertas Indonesia pada 2003. Untuk itu DSB meminta Korea Selatan segera
menjalankan keputusan ini.
Indonesia
berhasil memenangkan sengketa anti-dumping dengan Korea Selatan dan telah
menggunakan haknya dan kemanfaatan dari mekanisme dan prinsip-prinsip
multilateralisme sistem perdagangan WTO terutama prinsip transparansi. Oleh
karena itu, investigasi antidumping juga harus dihentikan jika fakta dilapangan
membuktikan bahwa marjin dumping dianggap tidak signifikan (dibawah 2% dari
harga ekspor). Dan jika volume impor dari suatu produk dumping sangat kecil
volume impor kurang dari 3% dari jumlah ekspor negara tersebut ke negara
pengimpor, tapi investigasi juga akan tetap berlaku jika produk dumping impor
dari beberapa negara pengekspor secara bersamaan diperhitungkan berjumlah 7%
atau lebih.
Ketentuan-ketentuan
mengenai antidumping yang dipunyai oleh beberapa negara, mempunyai peranan yang
sangat sah dalam sistem perdagangan bebas, namun tidak demikian halnya jika
disalah gunakan sebagai alat proteksionisme. Tidak adanya sanksi atas pengaduan
yang tidak disertai dengan bukti tentang adanya dumping akan sangat merugikan
pihak eksportir, apalagi pihak eksportir telah mengeluarkan biaya yang cukup
banyak untuk membuktikan bahwa produknya tidak dumping.
Salah
satu kritik atas proteksionisme baru adalah mekanisme pengajuan tuduhan
tersebut cenderung memihak kepada kepentingan produsen dalam negeri dan
memiliki kepastian memaksa pembatasan perdagangan dan justru bukan berfungsi
menyingkirkan pembatasan yang merupakan hambatan perdagangan. Jelaslah kiranya
penuntutan perkara antidumping dapat dimanfaatkan oleh negara-negara penggugat
dumping untuk melemahkan persaing-pesaing luar negeri dan memaksa produsen
pengekspor dan peme-rintahnya merundingkan pembatasan sukarela atas ekspor atau
yang lebih dikenal dengan Voluntary Export Restraints.
Tuduhan
dumping baik yang terbukti benar maupun yang tidak akan memberikan dampak yang
sangat besar terhadap lajunya pertumbuhan industri Indonesia. Perangkat hukum
antidumping di Indonesia belum dapat mengantisipasi baik terhadap tuduhan
antidumping dari negara konsumen maupun untuk melakukan tuduhan damping
terhadap negara-negara yang melakukan dumping ke Indonesia. Perlindungan
terhadap industri dalam negeri harus secepatnya dilakukan agar mereka jangan
selalu menjadi korban. Oleh karena itu untuk mengantisipasi hal tersebut
diperlukan ketentuan antidumping yang menyeluruh dalam bentuk Undang-undang
tersendiri.
Sehubungan
dengan tuduhan damping terhadap terhadap Indonesia oleh negara pengimpor, semua
pihak baik pemerintah maupun dunia usaha (eksportir dan produsen domestik)
hendaknya memperhatikan persetujuan antidumping baik yang diatur dalam
ketentuan Internasional (GATT- Putaran Uruguay 1995) maupun peraturan
perundang-undang nasional dari negara pengimpor. Dengan demikian, dalam
menghadapi berbagai tuduhan di luar negeri menurut H.A.S. Natabaya, para
pengusaha khususnya eksportir hendaknya (H.A.S. Natabaya, 1996: 88):
- Memahami secara seksama ketentuan anti dumping di negara penuduh; memahami teknik dan metode dalam mengisi kuisioner secara benar serta mengirimnya kepada pejabat berwewenang di negara pengimpor tepat pada waktunya.
- Memberikan kerjasama yang baik kepada penyidik negara pengimpor yang mencari fakta dilapangan;
- Melakukan koordinasi dalam asosiasi produk yang bersangkutan dan mendapatkan berbagai informasi dari instansi terkait.
- Bilamana kondisi memungkinkan, gunakan tenaga konsultan hukum (lawyer) yang ahli di bidang antidumping.
- D. Peranan Komisi Anti Dumping Indonesia (KADI)
Dengan
di keluarkannya PP No. 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk anti Dumping dan Bea
Masuk Imbalan, dan di bentuknya KADI, Pemerintah dapat melakukan pengkajian
terhadap adanya kegiatan dumping, sebagaimana di canangkan oleh ketentuan GATT
(Aticle IV). Untuk itu, maka diperlukan suatu diperlukan suatu perangkat hukum
berupa ketentuan antidumping dan lembaga tesendiri berupa Komisi Anti Dumping
Indonesia (KADI).
Tujuan
umum dari Lembaga tersebut adalah untuk turut serta berperan berperan aktif dlm
mewujudkan tatanan perdagangan dunia yang adil serta saling menguntungkan.
Adapun tujuan khususnya adalah untuk melindungi para produsen Indonesia
terhadap impor barang-barang yang didumping atau disubsidi berasal dari negara-negara
pengekspor, yaitu terhadap praktik-praktik perdaganan yang tidak jujur, bilaman
impor tersebut dapat merugikan industri dalam negeri pengimpor. Sehubungan
dengan Tujuan tersebut, KADI mempunyai Tugas pokok dan Fungsi.
Tugas-tugas
pokok KADI adalah sebagai berikut.[2]
- Melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya barang dumping atau barang mengandung subsidi yang menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri barang sejenis.
- Mengumpulkan, meneliti, dan mengolah bukti secara informasi mengenai dugaan adanya barang dumping atau barang mengandung subsidi.
- Mengusulkan pengenaan bea masuk imbalan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
- Melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
- Menyusun laporan pelaksanaan tugas untuk disampaikan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya, KADI mempunyai wewenang yaitu:
- Menyusun penjelasan lebih lanjut yang bersifat teknis dan administratif atas ketentuan yang berkaitan dengan dumping atau subsidi.
- Melakukan pemeriksaan, investigasi, ayau penyelidikan terhadap pihak yang berkepentingan dan pihak-pihak lain yang terkait dengan dumping atau subsidi.
- Mengusulkan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk memberlakukan tindakan sementara.
- Mengusulkan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengenai hasil penilaian atas tawaran tindakan penyesuaian.
- Mengadakan pengkajian kembali pengenaan bea masuk antidumping atau bea masuk imbalan.
- Mengusulkan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk mencabut atau melanjutkan pengenaan bea masuk untuk antidumping atau bea masuk imbalan.
- Menerbitkan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan penanganan dumping atau subsidi.
Adapun
struktur organisasi Komite Anti Dumping Indonenesia (KADI) dapat dilihat pada
bagan di bawah ini:
Ketua,
wakil ketua, sekretaris, dan anggota KADI diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Perindustrian dan perdagangan. Oleh karena itu dalam melaksanakan
tugasnya, KADI bertanggung jawab kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Sumber :
http://unram.ac.id/regulasi-anti-dumping-sebagai-upaya-perlindungan-terhadap-industri-dalam-negeri/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar